Keuangan Mikro Dan Pengentasan Kemiskinan Di Daerah Tertinggal

Kemiskinan menjadi suatu topik yang selalu menarik, karena memiliki dimensi yang sangat luas untuk didiskusikan, terlebih hal ini telah menjadi masalah utama bagi bangsa Indonesia yang memiliki  penduduk terbesar  keempat di dunia, dimana  lebih dari separoh penduduknya yaitu sekitar 129 juta orang tergolong miskin dengan pendapatan kurang dari $2 perhari (Obaidullah,2008), dan sebagaian besar penduduk miskin ini hidup dan tinggal di daerah-daerah pedesaan. Maka wajar, kalau PBB pun mengagendakan pengentasan kemiskinan sebagai salah satu  agenda utama dalam the MDGs (Millenium Development Goals).

Kemiskinan menjadi masalah akut hampir di semua negara berkembang dan dunia ketiga. Pengentasan kemiskinan dilakukan dengan berbagai upaya, baik berupa strategi pemberdayaan oleh kalangan LSM maupun melalui kebijakan publik oleh pemerintah. Namun strategi yang paling efektif menurut PBB adalah melalui pendekatan keuangan mikro. Pendekatan ini dinilai efektif dan memiliki kelebihan dibandingkan dengan strategi dan kebijakan lainnya. Mengapa pendekatan ini dinilai paling tepat, menurut penulis ada beberapa alasan :

  1. Keuangan mikro menjadi sumber permodalan
    Teori ekonomi menjelaskan bahwa fungsi pendapatan antara lain kapital, artinya bahwa untuk meningkatkan pendapatan masyarakat diperlukan adanya modal guna menggerakkan usaha yang pada gilirannya akan membuka lapangan pekerjaan baru dan secara agregat ekonomi akan bertumbuh positif.  Bagi masyarakat miskin persoalan modal menjadi masalah besar, karena pemilik modal baik perseorangan maupun lembaga (Keuangan/bank) selalu memberikan persyaratan yang berat, antara lain jaminan yang marketabel dan memiliki usaha (pendapatan) yang mapan.  Padahal bagi masyarakat miskin hal itu sangatlah sulit dipenuhi. Sehingga untuk mengakses perbankan hal yang mustahil, kalaupun mendapatkan sumber modal dari perseorangan (rentenir) harus membayar dengan bunga yang sangat tinggi. Walaupun ini persoalan klasik tapi tetap terjadi dan masih aktual di masyarakat kita, terutama masyarakat pinggiran (kota) dan pedalaman.
  2. Keuangan mikro menjadi mitra usaha
    Keuangan mikro, terutama yang berbasis syariah memiliki beberapa produk yang barbasis partnership (kemitraan) seperti mudharabah, musyarakah dan muzaraah dan lainnya. Lembaga keuangan mikro yang memiliki produk ini menjadi unsur penguat dalam memandirikan sektor usaha mikro yang pada umumnya dilakukan oleh masyarakat miskin (grassroot). Pelaku keuangan mikro dalam hal ini dapat berfungsi selain sebagai penyedia modal juga sebagai pendamping dalam mendukung keberhasilan usaha mitranya (masyarakat miskin).
  3. Keuangan mikro fleksibel terhadap jaminan dan persyaratan
    Lembaga yang menjalankan keuangan mikro sangat memungkinkan menggunakan persyaratan yang non-tradisional, seperti jaminan kelompok. Poin inilah yang sulit dipenuhi oleh lembaga keuangan formal (bank).
  4. Keuangan mikro tidak hanya sekedar lembaga komersial
    Memang benar, untuk bisa melanjutkan dan mengembangkan usahanya lembaga keuangan mikro harus tetap mendapatkan keuntungan (profit) dari jasa keuangan yang dijalankannya, namun perbedaan yang paling mencolok dengan lembaga keuangan formal adalah fungsi lain yang dimilikinya yaitu sosial. Sisi sosial yang dilakukan oleh LKM adalah melakukan pendampingan (mentoring) melalui kunjungan rutin, pertemuan kelompok, peningkatan ketrampilan dan pengetahuan anggota (nasabah) lewat pelatihan, dan sebagainya. Bukti empiris, model grameen bank yang banyak diadopsi oleh LKM di Indonesia cukup berhasil menjalankan fungsi ini.
  5. Keuangan mikro beroperasi tidak harus dimulai dengan modal besar
    Untuk menjalankan keuangan mikro tidak membutuhkan modal besar seperti halnya pada keuangan formal. Rata-rata di Indonesia untuk memulai kegiatan di keuangan mikro ini berkisar antara Rp. 20juta sampai Rp. 50juta. Artinya jika lembaga yang mendirikannya berbadan hukum koperasi yang mensyaratkan jumlah anggotanya minimal 20 orang, maka tiap orang hanya menyetorkan modal (simpanan pokok) sebesar Rp. 1juta. LKM ini dapat memupuk modalnya seiring dengan bertambahnya jumlah anggota, sehingga akan membesar seiring dengan jumlah masyarakat yang dilayaninya. Makin banyak yang dilayaninya, maka makin kuat permodalannya.
  6. Model keuangan mikro sudah tersedia
    Masyarakat yang berminat untuk mendirikan lembaga keuangan mikro pada dasarnya tidak terlalu mengalami kesulitan, karena model keuangan mikro di Indonesia sudah cukup banyak, tinggal mencari model yang cocok/sesuai lalu menirunya. Model Credit Union, Model Grameen, Model SHG (self Help Group)-arisan, Model BMT-Pinbuk, dan sebagainya. Sistem pembukuan, manajemen dan sarana-prasarana lainnya sudah banyak tersedia di berbagai provider yang dikehendakinya, misalnya: Pinbuk, BMT Center, Microfin, Micra, Pupuk, dan sebagainya.

Lalu, mengapa PBB tidak merekomendasikan bentuk pemberdayaan melalui bantuan tunai langsung  (BTL) misalnya, karena bentuk-bentuk charity seperti itu hanya akan memunculkan ketergantungan (dependensi) masyarakat miskin terhadap pihak lain. Dana-dana charity sebaiknya dimasukan dalam wadah dana sosial (baitul mal) yang sebenarnya akan lebih berfungsi guna jika dialokasikan sebagai dana penjamin (insurance) bagi masyarakat miskin yang memang benar-benar default (gagal bayar) atas kewajibannya terhadap LKM karena faktor kematian, usahanya (lapak) kena gusur, gagal panen, musibah,  bencana alam, dan sebagainya. Sehingga nilai-nilai pembelajaran, pendidikan dan pemberdayaan kepada masyarakat benar-benar terdeliveri seiring dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui keuangan mikro.

Nikmal (2007) dalam tulisannya yang berjudul “ Low Income Houshold Access to Financial Service” menyatakan bahwa keterbatasan akses keuangan yang terjadi di masyarakat akan mengakibatkan minimnya pilihan bagi warga dalam menentukan cara kerja dan hidup mereka. Sehingga perluasan kemampuan mengakses jasa keuangan akan berpengaruh secara siginifikan terhadap efisiensi alokasi sumber daya dan keuangan, pertumbuhan ekonomi, pendapatan perkapita dan redistribusi asset bagi masyarakat banyak.

Barangkali masih segar dalam ingatan kita,  cerita sukses  Moh. Yunus dalam mempelopori keuangan mikro di negaranya (Bangladesh) melalui Grameen Banknya. Grameen Bank dapat melayani 7,6 juta orang (2008) dengan dana yang terdistribusi ke masyarakat sebesar US$ 7,4 miliar setara Rp. 70 triliun, artinya rata-rata mendapatkan pinjaman sebesar Rp. 1juta per-nasabah,  gerakan keuangan mikro ini telah mampu mengangkat 65% nasabahnya lepas dari garis kemiskinan .  Bukti empiris keberhasilan keuangan mikro di Indonesia juga telah banyak diteliti dan menyimpulkan bahwa keuangan mikro efektif sebagai strategi dan pendekatan dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia.

Bulan Oktober  2005, ketika Presiden SBY meresmikan tahun 2005 sebagai microfinance year  jumlah BMT yang terdaftar dalam anggota PINBUK  sebanyak 3,037 BMT.  Jumlah asset sekitar Rp. 1 triliun dengan jumlah pekerja sebanyak 30.000 orang  dan 40%-nya adalah wanita. BMT  telah melayani  2 juta penyimpan dan didistribusikan ke pengusaha mikro dan kecil  lebih dari 1,5 juta pengusaha mikro. (Aziz, 2000).   Kini tepat lima tahun yang lalu, jika estimasi pertumbuhan yang diperkirakan oleh Prof. Amin Aziz sebesar  8% pertahun, maka jumlah BMT telah mencapai 4443 BMT, jumlah anggota 42.000 orang dan berasset Rp. 1,4 triliun. Jika dibandingkan dengan keberhasilan Grameen Bank, prestasi kita  tidak lebih dari 2% nya, baik dari asset maupun jumlah orang miskin yang dilayaninya.

Kesungguhan untuk mengentaskan kemiskinan dapat teruji dari sini, sampai seberapa besar warga miskin di negeri ini yang terlayani jasa keuangan (LKM) sehingga mereka dapat memberdayakan diri mereka sendiri melalui kepercayaan “modal usaha ” yang diberikan oleh lembaga keuangan mikro.

Kini ketika kita sedang berupaya keras mencari alternatif untuk mengentaskan kemiskinan, adakah masih teringat dengan komitmen untuk menjadikan keuangan mikro sebagai solusinya?.

[1] Staf Ahli PINBUK (Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil) Pusat dan Mahasiswa S3 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Speak Your Mind

*